Sebelum segala sesuatu terjadi di dunia kasar, maka akan didahului oleh suatu yang terjadi pada dunia halus.
Semua perbuatan terlebih dahulu bergerak – gerak dalam alam pikiran, sebab pikiran lebih halus dari pada badan , dan gagasan lebih halus dari pada perbuatan.
Akan tetapi hubungan antara perbuatan dengan gagasan tidaklah terang , dalam naskah2 suci dan Ajaran Sang Budha menyebutkan bahwa ada tali halus kesadaran berpikir yang terlentang dibawah tali perbuatan dalam belitan tali karma.
Sang Budha mengatakan, ” apapun seorang pikirkan seperti itu ia menjadi, ” dan Kristus juga mengatakan hal yang sama kepada para siswa – Nya , ” Dimana kekayaanmu berada disana jualah hatimu “.
Kita cenderung menjadi apa yang kita pikirkan, dan pikiran kita pada umumnya mencerminkan karma yang tertimbun dari masa silam dalam gudang pikiran bawah sadar yang amat luas.
Oleh karena itu untuk membebaskan diri kita dari perbudakan berpikir, kita harus menyadari bagaimana pikiran itu bekerja. Pikiran itu sendiri adalah ibarat sebuah bengkel yang sibuk menahan diri kita dari keinginan menjadi sadar akan jiwa.
Dengan demikian sangatlah perlu mengertikan dan mengatur bengkel mental ini sehingga kita dapat menyadari jiwa dan semangat yang bersemayam dalam diri.
APA YANG BISA KITA HIKMAHI DARI SANG MAESTRO?
Selamat Jalan Om Didi, pengayom Kelompok Pengamen Trotoar
Percakapan di kuliah Klatak University malam ini adalah tentang kata, doa, vibrasi, dan realita..
Apa yang bisa dihikmahi dari peristiwa besar hari ini: meninggalnya maestro campursari Didi Kempot?
Dimulai dari membahas kabar om Didi Kempot. Tapi bahasan dimulai dari Nia Daniati. Loh apa hubungannya? Ada! Karena apapun yang ada di dunia ini pasti terhubung, pasti berhubungan, pasti ada irisan-irisannya. Ada keterhubungannya.
Bahkan dalam psikologi ada yang disebut teori six degrees. Bahwa semua orang di seluruh dunia, satu dan yang lainnya, kenal apa tidak kenal, tokoh atau bukan, setiap orang hanya berjarak maksimal enam nama saja satu sama lain. Penelitian itu risetnya sudah lama. Sebelum ada facebook. Mungkin kalau diriset ulang pada jaman medsos ini teori itu sudah berubah, sudah lebih pendek lagi jaraknya.
Pada jaman Om Harmoko jadi Menpen dulu, beliau sempat melarang masyarakat menyanyikan lagu-lagu melow. Karena dianggap kurang bagus, akan mempengaruhi produktivitas masyarakat. Orang jadi letoy dan tidak optimis memandang masa depannya. Sontak, apa yang dinyatakan sang menteri itu menjadi kontroversi. Itulah era dimana lagu-lagu cengeng dilarang dinyanyikan.
Beberapa waktu kemudian, dalam wawancara di stasiun teve, baik Nia Daniati maupun Betharia Sonata mengungkapkan keresahan hatinya; mengapa kisah-kisah hidupnya menjadi mirip dengan lagu-lagunya. Berujung tragika! Dipulangkan ke orangtua, gelas rumah tangga yang selalu retak, kemalangan yang terus terjadi sepanjang lagu-lagu itu menjadi hits dan terus dinyanyikan.
Apakah ada hubungannya antara lagu dengan terciptanya realita?
Sampai akhirnya beberapa waktu lalu, penyanyi muda bertalenta Ariel Paterpan terbongkar kasusnya. Orang kemudian teringat dengan lirik lagunya yang sangat populer: buka saja topengmu! Ariel akhirnya harus menerima nasib persis apa yang diungkapkannya dalam lirik lagunya. Glend pun demikian. Akhir Cerita Cinta kita, akhirnya memang harus berakhir sudah! Glend Fredly menuliskan sendiri kisah hidupnya dengan sempurna lewat lirik lagu yang diciptakannya.
Dan Seventeen pun mengulang lagi kisah sendu itu dalam lagunya yang paling poluler: Kemaren. Vokalisnya, si Ifan, berucap dengan sepenuh rasa dalam video yang penuh lambaian kain putih: di sini aku sendiri. Mengenangmu. Semoa engkau tenang di sana. Selamanya… Dan saat konser di Banten, ombak laut menggulung semua teman-temannya. Dan hanya dia sendiri yang selamat. Bahkan anak isterinya pun ikut pergi selamanya bersama kawan-kawan bandnya. Dia hanya bisa mengenang semua itu. Ifan kini Sendiri!
Itu pula sebabnya Maia Estianty dalam hatinya mungkin terlintas rasa sesal mengapa dulu harus menulis lagu Buaya Darat dan Teman Tapi Mesra. Dan semuanya hits. Saat jadi trend dan dimana-mana orang menyanyikannya, semesta akan memprosesnya. Dan siapa sangka, kalau suaminya kemudian akan mesra dengan teman dekatnya lalu merebut kemesraan suaminya itu. Menjadi realita, teman dekatnya bermesra-mesra dengan suaminya dan mengambil alih status isteri yang telah digenggamnya berpuluh tahun. Miai telah menuliskan sendiri ujung kisah hidupnya jauh-jauh hari sebelum terjadi. Sejak lirik lagunya ia tuliskan sendiri. Kata-kata yang ditulisnya berkontribusi menentukan nasibnya kemudian.
Desember tahun lalu, saat kuliah di Klatak University berbarengan dengan konser Didi Kempot di Dies Natalis Kampus UGM, fenomena itu pernah kita bahas. Kita meresahkan dua hal yang punya potensi buruk di masa depan.
Soal yang pertama, sejak kapan ada sejarahnya musik jalanan, pinggiran, campursari dangdut, masuk ke kampus intelektual? Ini fenomena apa? Jazz masuk kampus sudah biasa, karena selama ini citra musik kelas menengah intelektual ada di musik itu. Tapi, campur sari, dangdut koplo? Yang lagu-lagunya sangat melow?
Soal yang kedua, saat itulah gelar The Good Father of Broken Heart didengungkan. Bagaimana pun itu kosa kata yang agak berlawanan dengan iklim kampus yang harus penuh optimisme dan rasionalitas.
Dua hal itu yang kemudian menjadi bahasan dan meresahkan. Kita mengkuatirkan hal-hal yang buruk bisa saja terjadi dengan adanya konser penuh lautan manusia yang semua justru antusias menyanyikan dan mengucapkan kata-kata yang bernuansa negatif: broken heart, cidro janji, ambyar, dan seterusnya. Bisa dicek postingan tentang ini di bulan-bulan itu.
Guru saya pakar property Ir Ardhian Denka sempat melontarkan kalimat kecemasan: rasanya ini tanda bahaya! Ribuan orang seolah merayakan dengan penuh kegembiraan kata-kata yang berkonotasi negatif. Kalau tidak segera sadar diri, merayakan kegembiraan atas rasa-rasa negatif, akan membuat semesta mempercepat proses getarannya untuk menjadi realita. Itu rumus bakunya. Jadi pantas kalau beliau mengkuatirkan impaknya.
Ambyar, ambyar, ambyar, sudah hampir 30 juta orang menyatakannya, setiap hari terus bertambah yang menyanyikannya entah dalam hati entah bersenandung. Kalau di ukur pakai skala vibrasi, sudah betapa mengerikannya kekuatan itu. Kami mengkuatirkan waktu itu soal nasib negeri ini. Soalnya, bertahun sebelumnya pak JK pernah berucap “hancur negeri ini” dan menjadi viral, diungkap ribuan bahkan mungkin jutaan kali. Kami kuatir, jangan-jangan lagu dari komunitas ambyar ini akan mempercepat kehancuran sebuah negeri. Waktu itu. Sekian bulan yang lalu.
Tapi, tak pernah kita menyangka, kalau kisah pilu ini akan menimpa penyanyinya duluan. Pecah tangis dari seluruh negeri, ambyar air mata dari jutaan anak bangsa, karena sang legend of broken heart ternyata berpulang lebih dulu. Membuat patah hati puluhan jutaan warga negeri ini. Membuat patah juga karya-karyanya, karena nggak akan ada lagi karya baru dari sang maestro. Nggak ada lagi panggung untuk sang legend. Semua telah berakhir di pertengahan Ramadhan ini.
Dalam kita suci ilmu vibrasi yang ditulis oleh Arif RH (salah satu guru saya yang ketemu di kemudian hari setelah ditunjukkan oleh sahabat saya Denn Baas) dijelaskan soal vibrasi dan rasa. Lebih tepatnya, kalimatnya adalah bahwa Rasamu adalah Doamu. Maka hati-hati dengan yang kaurasakan dengan sepenuh jiwa, karena itu akan menjadi doa, dan doa itu kalau menurut agama kita, cepat atau lambat pasti akan dikabulkan. Semakin yakin, semakin sepenuh jiwa doa itu diucapkan, semakin cepat menjadi realita.
Yang kita resahkan saat itu adalah bagaimana jika kata broken heart, ambyar, ingkar janji, dan beberapa kata berenergi lemah lainnya setiap hari diucapkan ribuan orang. Dalam konser-konser, di angkutan umum, di mall, di televisi, di radio-radio, di jalanan trotoar, ditulis di belakang truk-truk yang melintas di jalanan, di pos-pos ronda, dan seterusnya. Bukankah bisa berbahaya untuk yang sering mengucapkannya. Yang sering mengikutinya. Berbahaya bagi realitas yang akan tercipta dan berdampak bagi banyak orang yang menerima vibrasinya?!
Ambyar secara denotatif punya makna buruk. Dan ini adalah vibrasi force. Jika ini diucapkan oleh ribuan orang, apalagi dengan perasaan gembira, dengan suka cita, dengan sepenuh rasa bukankah ini akan sangat berbahaya? Berbahaya jika menjadi realita. Cepat atau lambat. Karena itu tadi, vibrasi adalah rasa, rasa adalah doa, doa adalah takdir yang akan tercipta, cepat atau lambat, karena janji Tuhan setiap doa akan dikabulkan oleh-Nya.
Doa terbaik untuk Om Didi Kempot. Semoga perjalananmu sejak mualaf hingga akhir hayat akan bermuara pada kedamaian yang abadi di sisi Tuhan.
Buat kitanya sendiri, pelajarannya adalah hati-hati memilih kata yang mau diucapkan, apalagi dengan penuh perasaan. Itulah sebabnya agama menyuruh kita berdoa yang baik-baik. Dan melarang mendoakan orang lain apalagi menyumpahi dengab kata-kata buruk. Berapa banyak orang mengalami nasib buruk beneran ketika ada yang berucap tanpa kontrol: tak doain kamu putus, tak doain kamu kecelakaan, tak doain kamu miskin, tak doain kamu cepet mati. Dan tak lama kemudian terjadi. Lalu kita dihantui perasaan sesal, penyesalan yang mendalam, dan itu tak berguna karena yang disumpahi bener-bener mengalami kecelakaan dan tak tertolong jiwanya.
Kalau memang berniat menyumpahi orang, kutuklah dengan vibrasi positif. Seperti ibundanya Sudais yang nggak kuat menghadapi kebandelan anaknya hingga berkali-kali terucap: kalau kamu nggak bisa dinasehatin ibumu tak buang nanti ke Mekkah biar bisa menjadi Imam Besar Masjidil Haram…. Dan kutukan itu, sekian puluh tahun kemudian terjadi, menjadi realita, semua orang tahu nama Imam Besar Masjidil Haram sekarang… Syeikhs as-Sudais.
Ingat, katamu adalah doamu. Penentu nasibmu di masa depan. Hati-hati dan pilih yang benar-benar vibrasinya power! Sekali lagi, nasibmu ditentukan oleh kata-kata yang kamu pilih!